Sabtu, 31 Mei 2008

KAHLIL GIBRAN BERSYAIR TENTANG KEBEBASAN


“Akulah rumah sejati sang anugerah, dan mata air kenikmatan, sumber kedamaian dan ketenteraman. Akulah ungkapan penyair, khayalan para seniman, dan ilham para pemusik. Akulah warna dari zaman ke zaman, membangun hari ini dan merusak esok harinya; aku seperti dewa, pencipta reruntuhan; aku lebih manis dari senyum bunga; tapi lebih galak dari amuk samudera. Wahai para pencari, akulah kebenaran, kebenaran sejati yang kalian cari; kebenaran yang memberi dan menerima, rawatlah aku, dan kalian akan terlindungi.”

Kebenaran diungkapkan, menyembul lewat untaian puisi para penyair, lukisan para seniman, juga senandung dendang para pemusik. Penyair, pemusik dan seniman, bagi Gibran mengikuti Willian Blake merupakan penghubung antara manusia dan Allah. William Blake melihat bahwa penyair, seniman dan pemusik sebagai malaikat dan orang suci. Mereka adalah manusia sebagaimana manusia-manusia yang lain, namun dia memiliki tugas keilahian. Artinya mereka dapat menjadi ‘lidah’ dan ‘tangan’ Allah dalam dunia untuk mengatakan tentang kebenaran-Nya.

Dengan demikian, perasaan dalam pandangan Gibran tidak berhenti sebagai ungkapan estetis, tetapi lebih dari itu sebagai wahana pembebasan. Tulisan Gibran amat kental dengan tuturan puitik mistik, oleh karenanya ia disebut penyair dan sebagian orang menyebutnya sebagai mistikus. Pandangan dan gagasannya diungkapkan menjadi sebuah tarian, sehingga penderitaan menjadi seperti sedang tersenyum. Jika dicermati dengan sungguh tulisan-tulisan Gibran sebenarnya bukan untuk tujuan estetika semata, tetapi lebih dari itu menyerukan sebuah sebuah pembebasan.

Pembebasan yang ditegaskan Gibran melalui pandangan estetikanya tidak berbeda dengan proyek pembebasan yang diproklamirkan Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau Walter Benyamin dengan teori kritisnya. Substansi pembebasan yang ada dalam teori kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada “keutuhannya” serta mengenyahkan berbagai alienasi. Artinya antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau aspek eksistensi manusia personal lainya tidak saling teralienasi.

Namun demikian gagasan pembebasan demi mewujudkan pengutuhan yang ditegaskan Gibran bukan semata-mata karena latar belakang politis, seperti apa yang digiatkan Adorno, Marcuse dan Benyamin. Lebih dari itu adalah karena alasan spiritual, seperti yang diperjuangkan pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan perasaan, lebih-lebih pengalaman keindahan, dikaitkan dengan kebesaran Allah. Gibran memandang perasaan sebagai ibu yang melahirkan keindahan, dan keindahan merupakan sesuatu Yang Kudus. Sebagai sesuatu Yang Kudus, perasaan menciptakan harmoni dalam setiap pengalaman kehidupannya.

Tidak ada komentar: