Sabtu, 31 Mei 2008

CINTA PADA BUMI PERTIWI TAK PERNAH MATI...


MERDEKA !!!
 
Kahlil Gibran menulis dalam karyanya ”Cinta itu tak pernah mati” ” bangsa ini tidak ada bedanya dengan bangsa bangsa lainnya, semua manusia memiliki watak yang sama, mereka berbeda satu sama lain hanyalah di permukaan, dan pada penampilan luar mereka yang beraneka ragam, malapetaka bangsa bangsa timur adalah juga malapetaka bagi seluruh dunia, tak ada satupun bangsa di Barat yang kamu anggap lebih tinggi selain bentuk pengejawantahan lain, khayalan khayalan hampa, kemunafikan tetaplah kemunafikan, meskipun cakarnya dihias hias, kebobrokan tetaplah kebobrokan, meskipun sentuhannya teramat lembut, kebohongan tidak akan menjadi kebenaran, meski dibungkus dengan pakaian sutra dan hidup di istana, kepalsuan tidak akan menjadi kejujuran, meskipun ada diatas kereta kencana atau dinaikkan kelangit, keserakahan tidak akan pernah menjadi kepuasan hanya dengan menimbang nimbang unsur unsurnya, kejahatan tidak akan menjadi kebajikan dengan berjalan diantara pabrik pabrik dan laboratorium laboratorium, ..” Cinta yang tak pernah mati itu adalah Cinta kepada negeri , itulah cinta kepada bangsa, kepada ibu pertiwi.

PASANG SURUT NASIONALISME INDONESIA

Sejak awal perjalanan Indonesia sebagai bangsa, membangun ’nation’ sebagai proyek bersama bukanlah mudah. Meski Sukarno sukses mempersatukan wilayah yang terpecah-pecah itu, tetapi, di era 1950an, dia tergoda meningkatkan peran ”state’ sebagai alat untuk menjaga apa yang disebut ”mitos pengalaman perang,8 yang dalam konteks ini, saya kira, merujuk pada perang revolusi melawan agresi kolonial 1945-1949. Bahwa ”revolusi belum selesai” dan harus terus berlanjut dalam upaya menahan laju agresi dari "proyek neo-kolonialisme dan imperialisme." Dengan bahasa lain, upaya perayaan atas "mitos pengalaman perang revolusi kemerdekaan" itu sebetulnya adalah usaha melegitimasi mobilisasi dukungan bagi program Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit 5 Juli 1959.

Sampai disini, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim,” yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.

Sekali lagi, "mitos pengalaman perang" pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui "perang melawan nekolim" itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi "proyek bersama" melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.

Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus," nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang "kiri," dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi "kanan."

Kegagalan "Nasakom," dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru,” dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok yaitu, secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik.

Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai "proyek bersama." Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.

Peran dominan ’state’ pada rezim orde baru itu berdampak amat buruk pada perkembangan ’nation’ selanjutnya. Dengan sentralisme rezim otoriter militeristik itu, maka perjumpaan Negara Orde Baru dengan pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang. Jika Sukarno menggelorakan sentimen nasionalisme dengan sesatu yang ”mengangkat” martabat bangsa, dan dengan progresif mengisi karakter nasionalisme Indonesia, maka strategi integrasi nasional gaya Suharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.

Bahkan jauh lebih buruk. Sengaja atau tidak, orde baru melakukan politik homogenisasi dengan Jawa sebagai pusat. Sekali lagi, upaya itu mengkhianati nasionalisme sebagai "proyek bersama." Ketidakpuasan atas elit politik non-Jawa di daerah-daerah mencapai puncaknya pada era kediktatoran ini. Misalnya, pada 1980 dari seluruh 12 Kodam yang ada pada waktu di luar Jawa, semua berada di tangan komandan militer dari Jawa. Dominasi etnik Jawa bahkan terlihat dari komposisi kepemimpinan tentara, 89 persen dari petinggi militer saat itu, jika bukan Jawa (80%) adalah Sunda (9%). Selain menggunakan Golkar sebagai alat politik orde baru, militer juga mendominasi parlemen yang memiliki 100 kursi di DPR (dari 460 kursi), yang dipilih tanpa pemilu tapi ditunjuk langsung oleh presiden.9

Dengan begitu, nasionalisme orde baru yang militeristik adalah sesuatu yang diabdikan untuk mengamankan teritorial, yang mengambil klaim kebenarannya lewat mistifikasi UUD 1945, dengan asumsi batas wilayah adalah "suci." Teritorialisme itu lalu meminggirkan semua urusan tentang "hak demokratis warga," dan mementingkan ’tanah’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan "manusia" atau "warga" di atasnya. Struktur teritorial itu membayangi struktur politik sipil sampai di tingkat pedesaan. Termasuk juga fungsi militer memeriksa orientasi politik dan mengendalikan organisasi sosial, seperti pers, lembaga agama dan badan pendidikan.10 Sekelompok orang yang menentang rezim dengan sendirinya dianggap ”tidak nasionalis,” atau lebih parah lagi ”komunis” atau ”separatis.” Kedua kata itu adalah juga berarti bukan bagian warga ’nation’ dalam versi rezim orde baru. Para keluarga eks-PKI, misalnya, telah dikeluarkan dari "proyek bersama," dan menempatkan mereka sebagai warga pariah tanpa hak politik.

Kegilaan tasfir nasionalisme seperti itu bahkan tidak terjadi pada orde sebelumnya. Misalkan Aceh, pergolakan Daud Beureueh dengan DI/TII di tahun 1953-1960 masih membuka kesempatan memperbincangkan kembali "proyek bersama" itu. Tetapi, ruang itu tertutup pada masa orde baru, ketika Hasan di Tiro menggugat dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 1976, maka daerah itu pun menjadi ajang operasi militer yang masif dan represif, yang menggasak warga sipil tak berdosa dengan membabi-buta. Sama halnya dengan Timor Timur yang dalam rekaman lembaga hak asasi manusia internasional, telah kehilangan 200 ribu warga selama militer rezim orde baru "menertibkan" daerah itu pada 1970an. Tak kurang kisah yang sama tragisnya terjadi di Papua.

Maka, ketika rezim orde baru dijatuhkan gerakan pro demokrasi, kepercayaan daerah-daerah bergolak itu atas "proyek bersama" yang bernama Indonesia sudah pupus lebih awal sebagai reaksi atas politik kekerasan orde baru. Lepasnya Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste mungkin satu perkecualian, karena aneksasi yang dilakukan rezim orde baru ke wilayah itu adalah satu kecelakaan sejarah dari skenario Perang Dingin. Tetapi, gejolak di Aceh dan Papua, adalah ujian berat pada masa reformasi.

KAHLIL GIBRAN BERSYAIR TENTANG KEBEBASAN


“Akulah rumah sejati sang anugerah, dan mata air kenikmatan, sumber kedamaian dan ketenteraman. Akulah ungkapan penyair, khayalan para seniman, dan ilham para pemusik. Akulah warna dari zaman ke zaman, membangun hari ini dan merusak esok harinya; aku seperti dewa, pencipta reruntuhan; aku lebih manis dari senyum bunga; tapi lebih galak dari amuk samudera. Wahai para pencari, akulah kebenaran, kebenaran sejati yang kalian cari; kebenaran yang memberi dan menerima, rawatlah aku, dan kalian akan terlindungi.”

Kebenaran diungkapkan, menyembul lewat untaian puisi para penyair, lukisan para seniman, juga senandung dendang para pemusik. Penyair, pemusik dan seniman, bagi Gibran mengikuti Willian Blake merupakan penghubung antara manusia dan Allah. William Blake melihat bahwa penyair, seniman dan pemusik sebagai malaikat dan orang suci. Mereka adalah manusia sebagaimana manusia-manusia yang lain, namun dia memiliki tugas keilahian. Artinya mereka dapat menjadi ‘lidah’ dan ‘tangan’ Allah dalam dunia untuk mengatakan tentang kebenaran-Nya.

Dengan demikian, perasaan dalam pandangan Gibran tidak berhenti sebagai ungkapan estetis, tetapi lebih dari itu sebagai wahana pembebasan. Tulisan Gibran amat kental dengan tuturan puitik mistik, oleh karenanya ia disebut penyair dan sebagian orang menyebutnya sebagai mistikus. Pandangan dan gagasannya diungkapkan menjadi sebuah tarian, sehingga penderitaan menjadi seperti sedang tersenyum. Jika dicermati dengan sungguh tulisan-tulisan Gibran sebenarnya bukan untuk tujuan estetika semata, tetapi lebih dari itu menyerukan sebuah sebuah pembebasan.

Pembebasan yang ditegaskan Gibran melalui pandangan estetikanya tidak berbeda dengan proyek pembebasan yang diproklamirkan Theodor Adorno, Herbert Marcuse atau Walter Benyamin dengan teori kritisnya. Substansi pembebasan yang ada dalam teori kritis sebenarnya adalah sebuah proyek besar bagaimana mengembalikan manusia pada “keutuhannya” serta mengenyahkan berbagai alienasi. Artinya antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya, subjek dengan objek, atau aspek eksistensi manusia personal lainya tidak saling teralienasi.

Namun demikian gagasan pembebasan demi mewujudkan pengutuhan yang ditegaskan Gibran bukan semata-mata karena latar belakang politis, seperti apa yang digiatkan Adorno, Marcuse dan Benyamin. Lebih dari itu adalah karena alasan spiritual, seperti yang diperjuangkan pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan perasaan, lebih-lebih pengalaman keindahan, dikaitkan dengan kebesaran Allah. Gibran memandang perasaan sebagai ibu yang melahirkan keindahan, dan keindahan merupakan sesuatu Yang Kudus. Sebagai sesuatu Yang Kudus, perasaan menciptakan harmoni dalam setiap pengalaman kehidupannya.

NASIONAL KARAKTER BUILDING ITU GOTONG ROYONG


sdi jakarta program aksi bagi sembako

Sudah jelas bahwa mental inlander complex yang mendera kita harus diberantas dengan nation character building. Istilah ini dipopulerkan oleh Soekarno pada jamannya yang sesungguhnya me-refer pada budaya asli bangsa kita: gotong royong.

Soekarno pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan satu substansial dasar negara dengan 3 versi, yaitu: Pancasila, Trisila dan Ekasila (Penetapan Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi - Ir Soekarno). Pancasila terdiri dari ketuhanan (religiositas), kemanusiaan (humanitas), persatuan (nasionalitas), kerakyatan (soverenitas), dan keadilan sosial (sosialitas). Trisila terdiri dari sosionasionalisme, sosiodemokrasi dan ketuhanan. Sementara ekasila dimaknai sebagai gotong royong. Soekarno menyebutnya, “Dari Pancasila bisa diperas menjadi Ekasila.” Jadi gotong royong itu sebenarnya adalah Pancasila juga.

Seandainya hanya satu prinsip yang diminta, Soekarno mengatakan harus digali dari tujuan membangun Indonesia, yaitu “semua untuk semua.” Harus dicatat bahwa Indonesia didirikan bukan hanya untuk orang jawa saja atau untuk umat muslim saja, tapi Indonesia buat Indonesia. Kata yang diusulkan adalah kata Indonesia asli: gotong royong (Soekarno: Bapak Bangsa Indonesia - MM Darmawan, 2005).

Gotong royong bukanlah sikap kekurangberanian, kurang percaya diri, atau sikap tidak mandiri. Mengacu pada Indonesia Baru – Anand Krishna, 2005, gotong royong tidak selalu berarti orang-orang sekampung menyumbang ketika kita terkena musibah. Gotong royong juga tidak cuma berarti kita membantu tetangga memperbaiki atap rumahnya. Interpretasi-interpretasi seperti ini justru mengkhianati semangat gotong royong itu sendiri.

Mohon dicatat juga bahwa gotong royong juga berarti kita membantu tetangga kita memberdayakan dirinya, supaya ia mampu memperbaiki sendiri rumahnya. Gotong royong juga berarti memberdayakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak menjadi beban bagi tetangga kita. Hanyalah gotong royong seperti itu yang memiliki arti lebih dan memiliki makna yang lebih berarti (p4-5). Gotong royong berarti setiap anak bangsa berjuang bersama untuk memberdayakan dirinya masing-masing (p5).

Gotong royong tidak sama dengan amal-saleh atau dana-punia atau charity. Semua itu hanya menyuburkan benih-benih kelemahan dan ketakpercayaan diri dalam diri para penerima, dan keangkuhan dalam diri para pemberi (p5-6). Gotong royong berarti memikul bersama beban negara dan bangsa ini (p 6). Gotong royong tidak mengenal tangan di bawah atau tangan di atas. Seorang pemberi yang egois tidak lebih baik dari seorang penerima yang lemah (p8).

Gotong royong berarti bahu-membahu. Gotong royong berarti saling bergandengan tangan. Gotong royong adalah sebuah “kesadaran” bahwa kita semua adalah putra-putri ibu pertiwi. Kita memiliki hak dan kewajiban yang sama, walaupun aplikasinya, pelaksanaannya, penerjemahannya dalam hidup sehari-hari bisa berbeda (p8-9).

Gotong royong adalah dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, satu karya, satu gawe. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama.

Penutup

Pendidikan jelas tidak bisa ditinggalkan. Bukan melulu pendidikan ilmu-ilmu empiris seperti sains, budaya, ataupun bahasa; melainkan juga pendidikan karakter (character building). Kita memang sudah (dan sedang) menjalankan itu semua. Tapi apa benar semua sudah tepat, terarah, terukur, dan efektif? Kadang saya merasa kasihan karena seorang murid mengemban beban kurikulum terlalu berat. Pokoknya, murid harus tahu segalanya, karena toh tidak ada ilmu yang tidak berguna. Padahal, bukan itu esensi pendidikan yang sesungguhnya.

Kita juga sering lupa bahwa pendidikan juga tidak melulu dilakukan lewat sekolah, kampus, atau kegiatan non kurikuler. Pendidikan bisa dilakukan kapan saja dimana saja. Pendidikan bahkan bisa disebarkan dengan media apapun juga, termasuk blog. Jadi, sejatinya, kita semua juga bisa ikut berperan aktif dalam pendidikan bangsa ini.

Oh iya, jelas perlu waktu dan effort luar biasa untuk mengubah sikap mental ini. Resistensi terhadap status quo pun begitu kuat. Walau begitu, saya lebih menyikapinya sebagai sebuah langkah positif yang harus dipaksakan. Harapan tentu bergantung pada Anda, saya, dan kita semua. Susah kan mengubah pola pikir dan tindak tanduk bila kita saja nggak pernah sadar ?

Jumat, 30 Mei 2008

th 2005, saat posisi minyak mentah dunia masih berkisar 60$/barel, SBY-JK berkeras menaikkan harga BBM hingga 180%, SDI TEGAS TOLAK KENAIKAN BBM



                          
   MENGAPA KENAIKAN BBM HARUS DITOLAK ? (TH 2005)



Pemerintah (terutama tim ekonominya) melakukan penyesatan informasi dan menyihir masyarakat dengan mengajukan argumentasi bahwa subsidi BBM menyebabkan defisit anggaran karena naiknya nilai US$ dan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga membuat skenario yang menghipnotis masyarakat dengan kondisi-kondisi dan berita tentang kelangkaan minyak dan maraknya penyelundupan, kampanye tentang subsidi langsung dll. yang manipulatif sehingga masyarakat terpancing bahwa pencabutan subsidi merupakan solusi efektif. Kejadian yang sesungguhnya adalah, Pemerintah mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pengelolaan negara yang sulit ditangani seperti krisis energi, penyelundupan, korupsi, dengan kebijakan yang tidak strategis dan merugikan masyarakat. Pemerintah mengambil jalan paling mudah dengan pencabutan subsidi BBM ketimbang berupaya keras untuk membangun sistem ekonomi yang lebih kuat. Kenaikan BBM juga ditengarai sebagai agenda tim ekonomi pemerintahan SBY-MJK untuk memuluskan kepentingan kelompoknya, dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.Beberapa argumentasi yang disampaikan pemerintah sebagai dalih menaikkan harga minyak sesungguhnya sangat mudah dipatahkan. Berikut ini beberapa hal pokok yang perlu menjadi kesadaran kita.

1. Kenaikan Harga Minyak Dunia Tidak Membebani Defisit Anggaran. Revrisond Baswir, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, mengutarakan bahwa kenaikan harga minyak memang menaikkan subsidi BBM, tetapi juga menaikkan pendapatan ekspor dari migas, yang berarti, kenaikan subsidi BBM juga diimbangi oleh kenaikan pendapatan, sehingga anggaran aman. Surplus transaksi ekspor-impor migas tahun 2004 berjumlah US$6,5 milyar. Tahun 2005, dengan meningkatnya harga minyak mentah, surplus transaksi ekspor-impor migas meningkat menjadi US$9,8 milyar. Sedangkan tahun 2006, transaski ekspor-impor migas diproyeksikan surplus sebesar US$7,5 milyar. Bahkan, jika dilihat dari sudut peningkatan nilai ekspor dan nilai impor migas, walau pun peningkatan harga minyak mentah turut mendorong melambungnya nilai impor migas, dampaknya terhadap peningkatan nilai ekspor migas jauh lebih besar.

2. Tim Ekonomi Melakukan Manipulasi Anggaran Untuk Menakut-nakuti Publik Tentang Dampak Kenaikan Harga Minyak Dunia terhadap Beban Subsidi APBN, Iman Sugena, Direktur Inter-CAFE, IPB mengungkapkan fakta sebagai berikut “. Pertama, tim ekonomi terlalu sering memberikan angka estimasi yang salah dan tidak realistis, misal angka-angka asumsi RAPBN-P 2005 dan RAPBN 2006 yang jauh dari kenyataan. Yang paling fatal adalah angka yang diberikan kepada Presiden oleh tim kecil dalam menghadapi krisis BBM dan nilai tukar. Hasil rumusan tim ini kemudian dibacakan kepada publik oleh Presiden, bahwa kemungkinan subsidi BBM akan meningkat menjadi Rp 138,6 triliun. Padahal, hanya beberapa minggu sebelumnya angka yang tercantum dalam nota keuangan yang dibacakan oleh Presiden di depan DPR (16/8/05) hanyalah sebesar Rp 101,5 triliun saja. Pembengkakan subsidi inilah yang menyebabkan reaksi pasar terhadap pidato Presiden menjadi sangat negatif. Rupiah dan bursa saham di hari-hari berikutnya menjadi melemah. Selain itu, sentimen negatif juga diakibatkan oleh kurang komprehensifnya rumusan tim kecil terutama bagaimana cara menanggulangi pembengkakan subsidi tersebut dalam jangka pendek ini. Dari delapan langkah yang dibacakan Presiden, tampak tak ada kejelasan tentang penanggulangan defisit anggaran. Setelah itu, angka-angka anggaran yang sama kemudian diajukan ke Panitia Anggaran DPR sebagai bahan untuk APBN Perubahan yang ketiga kalinya. Ada dua angka penting yang muncul di situ yakni; (1) subsidi membengkak menjadi Rp 138,6 triliun; dan (2) defisit membengkak menjadi Rp 48,3 triliun atau sebesar 1,8 persen dari PDB. Karena itu tim ekonomi mendesak supaya harga BBM dalam negeri segera dinaikkan. Oleh Panja kemudian ditemukan kesalahan penghitungan subsidi karena ternyata meliputi BBM industri yang sudah dilepaskan ke mekanisme pasar. Seharusnya subsidi BBM hanya Rp 113,7 triliun saja. Berarti ada selisih penghitungan sebesar Rp 24,9 triliun. Dengan demikian angka defisit seharusnya turun dari Rp 48,3 triliun menjadi hanya Rp 23,4 triliun atau 0,9 persen dari PDB. Tentu angka defisit ini (kalaupun benar ada) sangat manageable sehingga tidak ada alasan yang kuat untuk menaikkan harga BBM. Kedua, tim ekonomi secara sengaja telah menggelembungkan pos anggaran lainnya (selain subsidi BBM) agar posisi anggaran tampak sangat berbahaya. Dari hasil penggelembungan tersebut, tersepakatilah angka defisit sebesar Rp 38,3 triliun (1,4 persen dari PDB) seperti yang diungkapkan oleh ketua Panitia Anggaran. Dinyatakan pula bahwa pemerintah masih kekurangan sebesar Rp 15 triliun untuk membiayai defisit (financing gap). Kalau saja tidak ada penggelembungan anggaran, defisit 0,9 persen dapat terjadi tanpa harus menaikkan harga BBM. Penggelembungan terbesar terjadi dalam belanja lain-lain sebesar Rp 12,6 triliun. Selain itu ada sekitar Rp 2,6 triliun yang belum jelas. Sisanya adalah untuk Aceh, subsidi non-BBM, dan alokasi untuk kompensasi tunai langsung kepada 15,5 juta keluarga miskin. Membengkaknya defisit bukan karena pembengkakan subsidi BBM. Kalau saja anggaran lainnya tidak dibengkakkan secara sengaja dan tentunya tidak realistis pembengkakan subsidi BBM tidak membahayakan anggaran. Tim ekonomi secara tidak jujur telah dengan sengaja menggunakan angka-angka anggaran untuk menekan DPR supaya mendukung kenaikan harga BBM.

3. Subsisidi Langsung dengan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM Sangat Tidak Efektif, Pengalihan bentuk subsidi langsung dengan membagikan uang (cash transfer) kepada penduduk miskin sangat tidak efektif dan mengaburkan masalah pokok. Dua pengamat ekonomi, masing-masing Faisal Basri dan Fadhil Hasan, menilai subsidi model ini tidak akan berdampak positif bagi masyarakat. Apalagi kebijakan ini terkesan tergesa-gesa. Pasalnya, kriteria penduduk miskin dan besaran subsidi sebesar Rp 100 ribu per kepala keluarga setiap bulannya tidak realistis. "Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik sebagai dasar perhitungan pemerintah, tidak menggambarkan kemiskinan yang sesungguhnya," jelas Faisal. Tak efektifnya subsidi langsung ini juga diungkapkan anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Mohammad Chatib Bisri. Menurut dia, ketidakpastian soal besaran dan waktu kenaikan harga BBM juga sebuah persoalan. Sebab, saat pemerintah mengemukakan rencana kenaikan BBM, harga sejumlah barang kebutuhan pokok di pasar terus merambat naik, sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Alokasi dana sebesar Rp. 4,5 trilyun yang dibagikan kepada 15,5 juta penduduk miskin dinilai tidak tepat dan menimbulkan banyak masalah. Pendataan penduduk miskin oleh BPS maupun perangkat desa/kelurahan tidak akurat, bahkan Menneg PPN Sri Mulyani sendiri mengoreksi bahwa dari 15,5 juta penduduk hanya 14 juta yang memnuhi kriteria penduduk miskin. Problem akurasi pendataan dan penghitungan biaya merupakan masalah klasik, yang juga terjadi pada alokasi subsidi sektor pendidikan sebesar Rp. 6,3 trilyun untuk tahun 2005 melalui BOS yang menggantikan KBBS dan BKM. Menurut Sahrizal Martha Tanjung (Kompas), penghitungan unit cost pendidikan dari Depdiknas yangberdasarkan hasil Susenas 2003 sangat jauh meleset dari kebutuhan riil, sehingga murid yang kurang mampu tidak tertolong dengan program tersebut. Program kompensasi untuk bidang kesehatan melalui Kartu Sehat juga sangat jauh dari harapan untuk menyediakan akses kesehatan bagi masyarakat miskin. Permasalahan alokasi subsidi langsung dari kompensasi pencabutan subsidi BBM pada sektor kesehatan.

4. Program Insentif Ternyata Hanya Menguntungkan Pengusaha Besar, Seiring dengan kenaikan harga BBM tanggal 1 Oktober 2005, Pemerintah melalui Menko Bidang Perekonomian mengeluarkan Paket Insentif I dari rencana paket insentif yang akan dilakukan selama 3 kali. Paket insentif pertama ini mencakup deregulasi sektor fiskal, deregulasi sektor perdagangan, deregulasi sektor perhubungan, peningkatan pembelian harga beras dan gabah petani, dan subsidi langsung tunai kepada rakyat miskin. Dari paket tersebut, yang ditujukan kepada rakyat hanya dua item terakhir, sementara paket deregulasi fiskal dan non fiskal dinikmati kalangan industri dan perdagangan. Insentif fiskal ini hanya ditujukan untuk mengurangi biaya produksi industri sehingga tidak mem-PHK-karyawan, akan tetapi upah buruh/karyawan tidak akan dinaikkan, sehingga kesejahteraan buruh/karyawan tetap merosot akibat penurunan daya beli. Paket insentif ini tidak efektif pada usaha kecil menengah, yang tidak tergantung bahan baku impor. Industri kecil dan menengah tetap akan menerima beban kenaikan harga dan sulit untuk bertahan. Menko Perekonomian akan merencanakan tiga paket insentif, dan kecenderungan golongan pengusaha dan importir justru “menikmati” ekses kenaikan BBM dengan bermacam-macam keringanan fiskal (penurunan pajak, pembebasan bea masuk dll.) justru sangat kentara. Paket insentif ini juga akan menghapuskan 36 Perda pajak dan retribusi yang menghambat investasi, yang tentunya akan kontradiktif dengan kepentingan otonomi daerah yaitu peningkatan PAD, sehingga akan berdampak pula pada pembangunan dan peningkatan kesejahteraan penduduk daerah.Selain itu, program insentif ke petani dengan menaikkan harga pembelian beras dan gabah kontra produktif dengan rencana Menperindag Marie Pangestu untuk mengimpor 250.000 ton beras pasca kenaikan BBM, untuk menstabilkan harga beras dan mengurangi beban masyarakat (kota) yang menjadi konsumen beras.

5. Pencabutan Subsidi BBM Bukan Satu-satunya Jalan Mencegah Kebangkrutan Ekonomi, Pendek kata, pendekatan yang dipakai pemerintah dengan menaikkan harga BBM merupakan pilihan praktis yang justru menimbulkan dampak masalah lebih banyak. Penyelesaian krisis energi dan krisis anggaran seharusnya dilakukan dengan kebijakan strategis untuk menyelesaikan akar masalah. Beberapa alternatif yang dapat diambil antara lain: 1) Mengurangi kebocoran anggaran rutin akibat korupsi, 2) Penegakan hukum dan pengawasan teritorial yang lebih ketat untuk mencegah penyelewengan dan penyelundupan, 3) Merumuskan kebijakan nasionalisasi industri minyak dalam negeri, 4) Menetapkan kebijakan transportasi hemat energi, 4) Merumuskan kebijakan yang mendorong penggunaan energi alternatif (angin, sinar matahari, gas, batu bara dll.), 6) Meminta penghapusan atau minimal moratorium hutang untuk waktu yang strategis (25-30 tahun).Kebijakan transportasi hemat energi misalnya dengan mendorong penggunaan transportasi umum dan menekan kepemilikan mobil pribadi, penerapan pajak progressif untuk kepemikikan kendaraan pribadi untuk mengurangi konsumsi BBM dari orang kaya.

6. “Hidden Agenda” dibalik Kebijakan Kenaikan Harga BBM, yang ternyata membawa kepentingan pemodal asing dan dalam negeri yang diwakili oleh orang-orang di tim ekonomi. Kepentingan pemodal asing dari awal jelas mengarah pada liberalisasi sektor migas. Terlepas dari peningkatan harga minyak mentah di pasar internasional, sesuai dengan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas, harga BBM tahun 2005 ini memang telah dijadwalkan untuk dilepaskan ke mekanisme pasar. Ini erat kaitannya dengan telah dimilikinya izin prinsip oleh sekitar 107 pengusaha swasta asing dan domestik, untuk mengembangkan usahanya di sektor hilir industri migas di Indonesia. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, selama harga jual BBM di dalam negeri masih tetap disubsidi, “pemain asing enggan masuk.” Dengan demikian, pengaitan kemerosotan nilai tukar rupiah dengan peningkatan volume subsidi BBM, sebenarnya tidak lebih dari upaya sengaja pihak-pihak tertentu dalam mencari legitimasi untuk menuntaskan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas. Dalam rencana liberalisasi industri hilir migas mulai Nopember 2005, Pertamina bukan lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang menjadi distributor dan penanggungjawab pengadaan BBM dalam negeri. Perusahaan minyak asing seperti Caltex, Exxonmobile, Shell, British Petrolium, Petronas akan menjadi pengecer minyak yang menyuplai SPBU-SPBU dalam negeri. Kepentingan pemodal dalam negeri, baru terindikasi kuat dengan munculnya kebijakan insentif melalui deregulasi fiskal dan non fiskal tahap I pada 1 Oktober 2005 yang alih-alih akan menyelamatkan industri dalam negeri dan menanggulangi PHK dampak kenaikan BBM, tetapi justru akan meningkatkan rente pengusaha dan importir dari penghapusan bea masuk beberapa barang modal dan barang konsumsi salam negeri, keringanan pajak dll. Kenyataan seperti ini menguatkan argumentasi bahwa kepentingan pengusaha, yang direpresentasikan oleh KADIN,


dan hanya Fraksi PDIP dan PKB yang tetap konsisten menolak kenaikan BBM sejak th 2005 dan juga menolak kenaikan BBM 30% th 2008.